Menjadi Guru Profesional Masa Depan

Rasanya seperti kembali menjadi mahasiswa baru saat menyaksikan para sarjana strata satu kompak berseragam putih hitam di gedung kampus UNM yang ikonik, Menara Phinisi. Saya yang turut berada di antara orang-orang yang tak saling kenal itu di arahkan berkumpul di ballroom B yang terletak di lantai dua, setelah sempat menunggu beberapa menit di lantai empat karena mendengar kabar perlunya registrasi ulang. Padahal baru pekan lalu kami mengurus administrasi yang cukup melegakan. Tersebab penantian selama dua bulan lebih akhirnya terbayarkan oleh pengumuman yang segera tersebar di awal Oktober.

Kabar yang telah dinanti ribuan pendaftar calon guru profesional untuk SMK yang di dalamnya sudah terselip beragam prasangka negatif dan pesimisme. Sebab untuk pertama kalinya, program serupa menggantung harapan pendaftar terlampau lama. Tidak heran kemudian banyak yang akhirnya dinyatakan lolos dan harus mendaftar ulang namun urung, sebab telah diterima bekerja di tempat lain. Pun dengan saya yang setiap hari setelah tes terakhir dilangsungkan, tak pernah berhenti mengecek pembaharuan informasi dari laman resmi PPG Ristedikti yang sudah terbookmark otomatis di web browser namun selalu berakhir mengecewakan.  

Pagi hingga malam saya terus merenung dan berdoa meminta arahan langkah masa depan saya. Memilih kembali ke tempat kerja atau kembali mengurus beasiswa S2 setelah sempat menjeda. Sampai saya menyimpulkan bahwa program yang telah saya jalani prosesnya dalam empat bulan ini adalah cara Allah mengajarkan saya tentang keikhlasan. Iya, saya sudah hampir terbang ke Jawa untuk sebuah pekerjaan jika saja pengumuman itu terlambat sehari saja saya ketahui. “Sabar An, sebentar lagi!” sebuah pesan dari sahabat yang menjadi tempat saya berkeluh kesah terus menguatkan saya. Thank Allah, lucky me having her.

Selama tiga hari pihak P3G UNM mengadakan orientasi program yang akan peserta jalani selama setahun tanpa boleh izin menikah--yang bikin baper banyak orang. Setelah dua tahun secara utuh meninggalkan kampus, saya seperti bernostalgia sebab dipertemukan oleh teman lama yang dahulu menjadi rekan di organisasi. Bertemu senior yang telah lebih dulu bekerja saat saya masih terbelit peliknya mengurus skripsi, juga bertemu junior yang kadang-kadang membuat saya iri karena keberuntungan mereka. Baru saja lulus dari kampus, jeda sejenak saja sudah bisa lanjut kuliah program subsidi pemerintah. Ilmunya masih fresh banget gitu dan tentunya hemat umur. Pertemuan itu membuat kami, seperti biasa bertegur fisik. “Ih kok kurusan, gemukan, cantikan, jelekan?” (nggak, nggak, yang terakhir itu nggak ada :p).

Tidak hanya dari kampus UNM, ternyata peserta dari empat prodi (Teknik Kimia, Teknik Elektronika, Teknik Penangkapan Ikan, dan PJOK) juga berasal dari kampus luar baik swasta maupun negeri. Ada yang dari Aceh, Medan, Bengkulu, Malang, Gorontalo,  Palu, dan berbagai kabupaten di Sulawesi Selatan. Program yang akan saya jalani ini sebenarnya berbeda dengan Program Profesi Guru yang umumnya diketahui khalayak yaitu program lanjutan wajib setelah mengabdi di daerah 3T (SM3T). Bedanya, saya tak perlu ikut SM3T dulu baru bisa ikut PPG lagipula program yang saya jalani ini adalah khusus untuk persiapan pemenuhan guru-guru SMK yang belum tersertifikasi dan belum ataupun mengabdi kurang dari lima tahun. Kalau sudah mengabdi di atas 5 tahun atau  berstatus honorer, maka yang diikuti adalah PPG Dalam Jabatan yang masa programnya lebih singkat.

Lainnya, program yang saya jalani ini merupakan subsidi dari pemerintah di mana pembayaran SPP ditanggung Pemerintah kalau PPG-SM3T ditanggung penuh mulai biaya SPP, uang saku, akomodasi, dan transportasi. Nikmat khan mereka?~ Tapi saya tetap bersyukur sebagai sarjana pendidikan yang prospek kerjanya sebagai guru. Mau tidak mau, jika ingin menjadi guru berarti harus bersertifikat pendidik yang ke depannya belum tentu dapat subsidi. Kata Ketua PPG Pra Jabatan Bersubsidi, “pemerintah menegaskan kalau tahun 2019 semua pendidik wajib bersertifikat!” Sebagai pendidik, saya harus patuh dan ikut regulasi maka mumpung ada kesempatan yang jarang terbuka ini, baiknya dimanfaatkan. Tiba-tiba banyak teman saya yang bertanya, “akta IV kita gimana dong? Masa iya sudah capek-capek diperoleh kok kayak ndak guna gitu?”

Komentar terakhir itu menguap saat saya meneruskan informasi kepada teman-teman yang sekarang tengah sibuk melakoni peran sebagai guru honorer. Mereka protes kepada saya yang tidak bisa berbuat apa-apa dengan regulasi itu, selain hanya menguatkan untuk ikut di PPG selanjutnya—yang katanya sudah mandiri alias sepenuhnya bayar sendiri :(. Juga pada kenyataan bahwa di PPG Pra Jabatan 2017, lulusan ilmu non-pendidikan bisa bergabung untuk mendapat sertifikat profesi guru.

Rasanya makin tidak berartilah akta IV yang susah payah diperoleh lewat kuliah pedagogik itu. Padahal nih ya, lulusan ilmu pendidikan sulit sekali diterima bekerja di perusahaan. Alasan HRD pada akhirnya adalah karena gelar yang cocoknya bekerja di sekolah saja. Sementara fakta lain bahwa sekolah-sekolah swasta saat ini lebih banyak mempekerjakan lulusan non-pendidikan yang bahkan ada di antaranya lulusan kesehatan bukan dokter. (Sadar gak itu salah masuk institusi?). Memang belum ada survey resminya, namun ini kenyataan yang saya peroleh dari teman-teman yang telah merasakan dan melihat sendiri keadaan di lapangan.

Bukan bermaksud menyudutkan satu pihak, karena sebagai masyarakat biasa sulit melawan regulasi yang telah ditetapkan pemerintah jika masih ingin meraih tujuan yang berasal dari otoritas. Jalan satu-satunya adalah harus mengikuti peraturan. Juga tidak ada hak untuk melarang orang lain memutuskan masa depannya selama hal itu 'tidak merugikan pihak lain dan telah sesuai dengan ketetapan'. Kenyataannya, ada segelintir lulusan non-pendidikan lebih diakui cara mengajarnya dibanding lulusan pendidikan. Tentu ini bukan generalisasi, hanya sebuah fakta yang saya temukan di tempat saya mengajar dulu dari penilaian Kepala Sekolah dan Tim SDM.

Ke depannya, kami sarjana pendidikan dan non-pendidikan ini akan berlokakarya satu atap dengan tujuan yang sama, gelar profesi dan sertifikat profesi. Kami tentu harus saling menguatkan dan menyemangati. Setelah dibekali ilmu dan nasehat untuk menjadi pendidik professional selama tiga hari masa orientasi saya berharap bisa siap fisik dan mental menyambut dan menjalani proses yang kata teman PPG-SM3T saya menguras energi dan pikiran itu.

Calon guru profesional yang siap berjuang (foto: Mudrika)
Belum-belum masuk lokakarya kami sudah dibayang-bayangi UTN (Ujian Tulis Nasional) yang makin tahun, standar nilai untuk lulusnya makin tinggi saja. Sama seperti pendidik yang selalu dibayang-bayangi UKG (Uji Kompetensi Guru). Takut gagal! Tidak ada kebaikan tanpa rasa percaya diri dan optimisme, maka saya harus optimis lebih dulu. Semoga saja kami benar-benar bisa mencapai tujuan sebagai pendidik professional sehingga mampu mewujudkan Indonesia Emas 2045 seperti impian bersama untuk Indonesia ke depannya.***

0 komentar