Wanita, Wanita, Wanita-wanita





 RAN

Beberapa waktu yang lalu saya berkunjung ke rumah teman SMPku, lebih tepatnya dia adalah salah satu sahabat semasa kecilku. Memorizing à Orang yang pertama kali memberikan kesan paling baik ketika saya terlambat masuk sekolah karena sesuatu hal. Bersama-sama menjalani masa bahagia, sedih, kerja tugas susah senang, dan curhat-curhatan. Bahkan, kepada dia saya berterus terang tentang perasaanku pada seseorang kala itu –meskipun dipaksa ngomong. Dia baik, selalu membantu, menghibur dan membawa perasaan senang. Ada sikap yang kontras antara saya dan dia. Tetapi kami masih saling mengontak hingga sekarang. Dia itu supel, pintar, cerewet, universal, menarik, suka menolong, dan sangat mudah dekat dengan orang. Kami selalu pergi ke sekolah bersama saat masuk siang hari, saya menjemputnya di rumahnya –padahal rumah saya dan dia jauh, tetapi kalau ke sekolah saya melewatinya. Kami selalu naik ojek berdua dengan tukang ojek perempuan langganan dia. Kami pun sering menghabiskan waktu libur dengan sesekali jalan-jalan. Bukan hanya bersama dia, tetapi kebersamaan antara saya, dia, juga seorang lagi, Riski namanya. Jarak rumahnya dari rumah Nyai dekat—saat itu. Hal yang paling kuingat, saat saya berkunjung ke rumah Riski –yang ke berapa kalinya, tiba-tiba ibunya bilang, “kalian (menunjuk saya dan riski) mirip yah!” Hahaha~ menurutku itu lucu, kalau orang lain yang bilang kami mirip yah mungkin saya biasa saja, tapi ungkapan itu Mamanya sendiri yang bilang, orang yang melahirkan dia, saya tertawa saja. Mungkin benar, saya mirip Riski, suatu hari saat penilaian kompetensi mata pelajaran seni tari dimana setiap siswa membentuk kelompok dan menari ataupun dance lalu guru seni menilainya. Kami telah menginjak kelas dua SMP, namun sayangnya kami beda kelas. Mereka tetap sama di kelas B, sedang saya kelas A. hal itu tentu saja tidak membuat hubungan kami putus, meskipun agak renggang dengan jadwal kelas masing-masing. Sore itu, jadwal kelasku dengan kelas C yang menunjukkan kompetensi seni tari, seseorang dari kelas C menegurku, saya sih tidak terlalu mengenalnya. Dia menyapaku dan mengobrol tentang tarian yang akan kutampilkan. Ketika dia melihat teman-temanku, barulah dia menyadari kalau ternyata dia salah orang, dia mengira aku Riski, karena penampilanku saat itu memang beda dari biasanya. Dari kejadian itu, aku berpikir, “apa aku benar-benar mirip Riski?” Tidak mengapa, dia Sahabatku, tapi apa mungkin sekarang masih mirip? Hmm… kepada mereka aku merasa nyaman, bercanda dengan ‘menjelekkan’ masing-masing rasanya sulit untukku menjadi tersinggung, padahal terkadang saya sensistif dengan candaan ‘lebay’. Kami juga masih saling mengunjungi rumah saat Idul Fitri. Orangtuaku, mereka mengenalku dan mengenal mereka. Yah, itulah alasan mengapa kami tetap saling mengontak satu sama lain hingga saat ini, meskipun kondisi berubah. Masing-masing telah berada pada rel hidupnya. Berjalan hingga tujuannya.



Waktu itu, sebuah kabar bahagia melalui sebuah pesan singkat masuk di handphone-ku. Sahabatku, Nyai namanya –unik, dia keturunan Sunda, nama aslinya Hilwati, haha~ sangat tidak nyambung, kan! Dia mengundang untuk acara Syukurannya. Seulas senyum mengembang seketika, penasaran dengan objek syukurannya, ku balas SMSnya dan kutanyakan. Betapa kagetnya diriku ketika membaca pesannya, “Syukurannya anakku, say!” Haaa? Tidakkah saya salah membacanya? O,O tidak!!! lalu kami saling berbalas SMS lagi saat itu.

Jujur saja, saya agak kaget, tanpa pernah dia mengundangku di acara pernikahannya, tiba-tiba dia mengundangku untuk acara syukuran anaknya. Cukup sulit menentukan hadiah yang tepat untuk si baby girl. Baju bayi dengan aneka warna cerah, sepatu, perlengkapan tidur, perlengkapan makan, selimut, bantal, semuanya membuatku bingung menentukan pilihan. Bahkan, beberapa kali aku harus mengitari kembali etalase toko itu dan memutuskannya. Sebuah mini dress pink akhirnya kupilih, itupun setelah membanding-bandingkannya. Ditambah sebuah sepatu pink dengan motif boneka. Setengah jam memilih hadiah, adik yang mengantarku ternyata dongkol berat menunggu kelamaan.

Aku tersasar. Hujan mulai deras. Sesaat, saya bernaung di depan sebuah warung yang sedang tutup. Saya sudah di dalam jalanan yang di dalamnya ada beberapa kompleks, namun tak kutemukan kompleks perumahan tempat tinggalnya sekarang. Setelah komunikasi telepon dengan petunjuk yang diberikan, walaupun sempat tersasar lagi. Akhirnya saya menemukannya. Tulisan nama kompleksnya menurutku agak kecil jadi kurang kelihatan.

Sepi. Tidak banyak tamu yang berdatangan di rumah orange itu. Hanya bocah-bocah yang bermain-main. Seorang ibu baru menyambutku, yah, dialah sahabatku semasa SMP. Masih seperti dulu, dia ramah, luwes, supel, dan enerjik. Kami berjabat tangan, melepas rindu setelah lama berpisah. Sambil menyantap hidangan makan siang saat itu kami saling bercerita. Saya sangat penasaran dengan pasangan hidupnya. Sayangnya, Riski tak dapat datang saat itu, dia masih menjaga rumahnya.

Putri kecilnya sedang tidur saat itu. Ternyata dia begitu rajin tidur siang. Putri kecil yang mungil, cantik, persis seperti ibunya. Seorang lelaki baru datang dengan lelaki tua yang merupakan bapaknya, dialah Ayah putri kecil dan kakeknya. Ketika kulihat dia berdampingan dengan sahabatku, mereka begitu kontras. Merekalah sepasang yang telah digariskan Allah untuk hidup bersama dan membentuk keluarga kecil bahagia. Subhanallah. Saya tidak heran kalau dia cepat bertemu dengan dianya, dia memang menarik. 


 Saya merasakan percikan bahagia yang muncul. Lengkaplah sudah kebahagiaan sahabatku ini, dengan hadirnya Zulfa AzZahra. Jadilah ia wanita yang seutuhnya, seorang Ibu. sebuah tanggungjawab yang tidak ringan mulai ia jalani. Rasa haru menyerangku saat ia bercerita tentang masa-masa kehamilannya. Masa ketika tiba waktunya dia harus melahirkan. Perjuangan yang berat sebagai seorang wanita saat itu diakuinya begitu terasa. Tak lagi ada nafsu, yang ada hanyalah pikiran untuk keselamatan si buah hati yang segera melihat dunia. Untung saja, sang suami selalu setia mendampinginya. Tak terbayangkan bagaimana rasanya, hingga dia mengaku trauma dengan kondisi melahirkan. Sakit sekali katanya. Bulu romaku merinding, teringat perjuangan para ibu –teringat Ibu di rumah dan dosa-dosa padanya. Belum lagi ketika harus mengalami jahitan… Errr… tak terbayangkan hingga tiba waktunya. Dia kurus banget setelah melahirkan, beda banget dengan orang yang baru saja melahirkan  yang biasa kulihat. Gemuk.

 
Saya terus saja terngiang tentang itu. Saya menjadi pengamat sehari dia. Melihat bagaimana dia berlaku pada orang, berubah, dewasa, kepada suaminya, kepada anaknya. Dia yang kurang tidur karena terjaga oleh rewelnya putri kecil. Memahami kondisinya, dan kondisi-kondisi yang belum dirasakan ketika putrinya belum ada. Saat dia menyusuinya, menenangkannya, mengelusnya, dan semua perlakuannya yang penuh kasih saying. Rasanya begitu menggetarkan… Rasanya saya belum pantas. Masih childish. Terngiang teman-teman kampus yang terkadang membicarakan tentang pernikahan, kehamilan, belum lagi hasrat mereka yang ingin segera merasakan rahimnya terisi… Rasanya saya belum siap, belum pantas. Dia juga memperlihatkan album foto pernikahannya, begitu cantik dan romanticnya mereka. Wajah mereka mirip. Doaku, sakinah, mawaddah wa rohmah. Aamiin.

Hidup sebagai seorang istri dan ibu tidaklah mudah. Kufikir, disinilah titik tertinggi amanah seorang wanita dalam hidupnya. Bagaimana dia mampu menjadi istri sholehah yang berbakti kepada Rabb dan suaminya, sekaligus menjadi Ibu yang baik, teladan bagi anak-anaknya. Seperti sebuah ungkapan, Keadaan suatu Negara terletak pada wanita-wanitanya. Begitu pentingnya kedudukan wanita, dialah yang mengasuh anak-anak menjadi baik atau buruk. Begitu pentingnya bekal seorang wanita untuk menjadi istri dan ibu yang baik bagi anaknya, sehingga kelak keturunannya adalah keturunan yang berkualitas. Kurasa, saya masih dalam tahap pembekalan, belum sepenuhnya cukup bekal untuk menjalani hari-hari diperiode itu. Namun, semua wanita tentu saja menginginkan masa itu. Insya Allah. Aamiin.

Kehidupan di masa itu tentu saja berbeda. Ada tanggung jawab lebih. Bukan lagi hanya memikirkan diri sendiri. Kalau saat sendiri, belum malu dan masih meminta uang orangtua, tentu ketika telah menikah akan ada rasa itu. Bukan hanya itu, akan ada banyak hal yang menjadi beban pikiran. Pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder. Imam yang baik tentu saja tidak akan membiarkan istrinya terbebani dengan memikirkan sendiri kondisi tersebut. Berusaha sendiri saat pasangan sedang tidak disampingnya. Menjadi seorang istri, seorang ibu bukanlah tugas ringan. Setiap wanita tentu saja akan menjalaninya, sehingga sekali lagi, bekal haruslah ada, mental haruslah siap, karena akan ada banyak hal baru yang menantang, meskipun sepele tapi dapat menjadi beban berat ketika tidak tahu mengatasinya. Saya menulis kalimat-kalimat terakhir ini, bukan karena berpengalaman dan sok tahu, tetapi belajar dari pengalaman teman melalui pengamatan untuk menjadi ‘mapan’.*)
Anna - Fllhana – Sya’ban 26th 1434
Untuk suatu kejadian yang terus terngiang


Sebuah tulisan tentang kehebatan wanita dari seseorang…


Hebatnya seorang wanita. Seorang wanita saat mendapat berita kehamilannya, hatinya penuh dengan kegembiraan hingga dia meneteskan air mata. Tidak pernah terlintas di fikirannya bahwa proses bersalin itu sendiri dapat merenggut nyawanya. yang dia tahu, dia bakal membawa buah hatinya yang hebat ke dunia.

Wanita, hebatnya dia tidak pernah mengeluh walaupun saban pagi dia muntah-muntah hingga badannya kehilangan segala tenaganya. Dia mampu tersenyum mengenangkan zuriatnya sedangkan janinnya membesar di dalam rahimnya yang hanya sebesar buah pear.

Wanita, hebatnya di saat dia mulai merasakan sakit ketika hendak bersalin hatinya tidak gentar walau sedikit pun. Tidak pernah terfikir nyawanya mungkin menjadi yang terakhir. namun yang hanya dia mau, buah hatinya lahir dalam keadaan sehat.

Wanita, hebatnya dia mampu menahan sakit hingga 57 Del ketika hendak melahirkan anak (sama halnya seperti 20 tulang yang dipatahkan dengan serentak). Sedangkan sekuat mana pun manusia itu hanya mampu menahan hingga 45 Del saja.

Apa yang selalu kita dengar tentang wanita?
Wanita tercipta dari rusuk laki-laki.
Wanita itu sayap kiri laki-laki.
Wanita berhati lembut dan kuat emosi.
Wanita itu kaum yang lemah.

Tetapi, sadarkah kita di sebalik semua itu…
Wanita dicipta untuk menjadi ibu.
Ibu yang mengandung selama 9 bulan dengan segala kesusahan..
Ibu yang berjuang dengan maut untuk melahirkan buah hatinya, penyambung generasi manusia..
Ibu yang berjuang menyusukan anak selama 2 tahun lamanya..
Ibu yang mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak-anak dengan penuh kesabaran..
Ibu yang doanya lebih makbul dari seorang bapak..
Wanita jugalah yang menjadi tulang belakang laki-laki..
Tidak kurang juga, wanita mampu melemahkan laki-laki..

Hebat kan wanita?
Anda beruntung menjadi seorang wanita..


0 komentar