Berpisah selalu memberatkan! Apalagi jika sudah
cukup tahu siapa orang-orang yang selama ini membuat diri cemas dan
berprasangka. Pun dengan mereka, saat tahu bahwa saya tidaklah sehoror yang
mereka duga. Muka saya, ekspresi saya memang selalu bikin ilfeel duluan untuk
berteman lebih jauh.
Patutlah saya bersyukur dipertemukan dengan
siswa-siswa II-C SMK SMAK Makassar di tahun 2018. Siswa-siswa yang sejak awal
membuat saya cemas memikirkan perkataan seorang pembimbing di Lab. Volumetri
tentang betapa kelas II-C adalah kumpulan orang keras kepala di antara semua
rombel kelas II. Padahal sebelum itu pun, bayangan-bayangan tentang bagaimana
mengajar dan membimbing siswa SMAK yang mungkin bakal lebih cerdas dari saya
dalam praktik dan teori berkelebat di kepala saya tepat setelah observasi
pertama di bulan November 2017. Bagaimana mungkin harus ditambah dengan
mengatasi perilaku mereka yang entah apakah bisa saya atau tidak?
|
Siswa II-C di pertemuan terakhir |
Faktanya, siswa-siswa SMAK tidak sebebal siswa SMA
yang pernah saya bimbing. Termasuk kelas II-C yang memberikan saya memori dan
pengalaman untuk dikenang. Mereka mengingatkan saya kembali pada masa putih
abu-abu. Saya bertemu banyak karakter di dalam kelas itu. Empat pertemuan tidak
akan pernah cukup untuk memahami 35 karakter tapi sebagai satu-satunya subjek
penelitian tindakan kelas saya, maka saya bersyukur punya waktu di luar empat
pertemuan itu untuk mengenal mereka—setidaknya dalam hal akademik dan motivasi
belajar mereka.
Pertemuan pertama saya terkesan pada Imam Setiawan
yang berani mempertahankan pendapatnya meski didebat empat kawannya dari
kelompok berbeda. Adik itu, memberikan saya motivasi dan optimisme bahwa metode brainstorming yang saya terapkan pasti
bisa berjalan semestinya. Saya kira dia bakal jadi pengacau dengan gayanya itu,
tapi dia cukup baik diajak kompromi. Saat berdiskusi, saya senang mendengar
cara Andhika menyampaikan pendapatnya: baik, lugas, dan terstruktur. Saat
seusianya, saya belum bisa seperti itu. Semoga ke depan dia bisa lebih berani.
Saya senang dengan semangat belajar dari Alam, Nurhidayah, Fitri, Fadli, Alif,
dan Rusdiyanto yang meluangkan waktu mengikuti kelas tambahan saya terutama
Fitri yang membuktikan dia bisa saat ulangan kedua.
|
Fadli, Samad, Batari yang dapat penghargaan dari teman-teman kelas sendiri :D |
Saya menyebut mereka tim guardian; Batari, Alif, Fadli, Milka, dan Samad yang ikhlas
membantu dan mengajar teman-teman mereka yang belum mengerti materi. Utamanya
Batari yang mendapat award dari
teman-temannya :D Juga Samad sebagai yang paling bersemangat selama saya
mengajar. Selalu mengacung tangan, meski saya takkan mau menunjuknya lagi.
Tentang award, saya cukup kaget mengapa tim Fadli yang harus terpilih padahal
beberapa anggotanya mengkhianati saya saat berdiskusi: mereka mengerjakan tugas
pelajaran lain :-(
Ada geng cewek-cewek kalem yang bersahaja; Aisyah, Siti
Annisa, Nurhidayah, dan Rainnah yang diam-diam tapi paham tetap semangat dan
istiqamah ukhty. Sebenarnya perempuan II-C itu mayoritas kalem kecuali Irma,
Karmila, Namira, Tarisyah, Afifah, dan Annisa mereka punya gaya yang khas!
Terutama Irma yaampun! Saya kurang mengamati Vera dan Aulia yang mengejutkan
saya di akhir siklus karena pencapaiannya stabil bahkan jadi yang tertinggi.
Saya ingat remedial-boy squad; Ardi, Fiqri, Ichwan,
Erwin, Muhajirin, Afdal, Ikram, Tegar dan Rijal. Sampai saya hafal nama-nama
ini yang tidak pernah luput dari tinta merah. Padahal saya yakin mereka bukan
gak pintar cuma malas mengulang pelajaran. Sehabis saya jelaskan mereka bakal
mengangguk paham dan bilang “iya”, pas ujian lupa-lupa-ingat -__-“ Plis ingat
kutipan ini tiap kali kalian malas belajar, “jika kamu tidak tahan terhadap belajar, kamu harus menanggung beratnya
beban kebodohan!” ini pengingat diri yang baik selain orangtua yang
menunggu pencapaian terbaik dari kalian. Ini juga untuk Wafa dan Afifah yang
sering datang menghadap saya di aula selepas pembagian hasil ulangan. I
believe in you all.
Bukan hanya siswi, beberapa siswa terkesan kalem
atau malu-malu saat saya masuk: Faisal, Dzulfilham, dan Ismail. Saya kadang
tidak tahu apakah mereka ini sudah mengerti atau bagaimana, karena ekspresinya
datar saja. Mengejutkan, mereka selalu baik dalam tiap ujian. Terutama Faisal
yang saya membuat saya heran dengan siapapun yang duduk di sebelah kanannya
pasti memiliki nilai yang sama dengannya, padahal siswa itu sebelumnya remedial.
Saya pikir, Ismail yang paling jujur mengisi angket motivasi yang membuat saya
memutar otak harus bagaimana supaya bisa berhasil.
|
Lagi serius nih! |
Jujur saja, saya cukup ‘stres’ dan sedih dengan
hasil ulangan kedua yang terjun bebas ke angka yang tidak saya duga. Siswa-siswa
yang saya percaya mampu, entah mengapa malah membuat saya menyimpan tanya apa
yang salah dari saya dan apa yang mereka tidak pahami? Dua pertemuan terakhir
saya berusaha sempurna tetapi malah jadi buruk dari sebelumnya karena waktu over! Terlebih pertemuan terakhir yang
membuat saya agak kecewa melihat semangat belajar mereka turun dari sebelumnya.
Pemicunya bisa jadi karena mereka kurang tidur mengerjakan tugas semalaman.
Tapi mengamati kelas PTK lain, hal yang sama terjadi: pertemuan terakhir agak
buruk.
Menjadi guru idealis itu sulit. Sesempurna apa
rancangan pembelajaran yang telah dibuat, tidak akan sesempurna tindakan kita
di dalam kelas. Kita hanya mampu berusaha, menuruti waktu yang ditetapkan, tapi kita tidak pernah menduga respon apa
yang akan datang dari siswa yang merenggut bermenit-menit yang harusnya menjadi
tindakan ke depan. Saya baru bisa menerima hasil saya dengan legowo setelah
dikuatkan dosen pembimbing, setelah mengingat kutipan seorang kiyai yang saya
lupa namanya: sehebat apapun kamu sebagai
seorang guru, kamu tidak akan bisa memaksakan siswamu untuk pintar. Karena
kepintaran mereka adalah kehendak Tuhan. Maka doakan mereka. Bukan berarti
pintar itu takdir, tapi lebih kepada kerja keras dari doa yang menggerakkan untuk
berusaha.
|
Tebak! mana mereka yang telah saya deskripsikan :D |
Di tulis pada pekan pertama Mei 2018—rewrite
|
Lega! |
Akhirnyaaa... hari ini (26/01) masa empat bulan
yang awalnya penuh kecemasan dan keraguan pada diri sendiri dan situasi yang
tak tertebak resmi berakhir. Ehm, masih ada seminar proposal PTK dua pekan ke
depan yang jadi penanda babak akhir semester pertama sebagai mahasiswa PPG Prajabatan Bersubsidi Teknik Kimia 2017 sih, lalu welcome di sekolah
pengabdian. Tempat di mana hari-hari akan dihabiskan tidak lagi lebih banyak
bersama benda mati yang menyerap segala isi kepala sampai lelah.
|
Makasih ibu untuk ruangannya :D |
Sejak workshop dimulai 16 Oktober 2017,
bekas ruang kuliah yang ditata dan difasilitasi sebaik mungkin oleh Kejur
Jurusan Kimia UNM jadi ‘kantor’ kami sampai pekan pertama Februari. Ruangan
yang terletak di lantai tiga tepat bersebelahan dengan lab penelitian itu tidak
berarti sepi selepas kami tinggalkan. Ada pasukan gelombang dua yang
meneruskan. Entah apakah atmosfer jenuh sampai mengkhayal tidak jelas, makan-makan
sampai capek, cerita-cerita yang tidak pernah habis dan basi (terutama masalah
menikah dan segala kata tanya yang mengawalinya), nobar film thriller dan
horor yang pernah kedapatan dosen dan dikira menonton film dewasa (padahal
kami sudah dewasa), juga aksi ‘tepar’ di bawah kolong meja (apalagi hari Jumat)
menjadi lauk yang beraneka rupa bahkan kadang mendominasi nasi (baca: kegiatan
membuat perangkat).
|
Serius gaes! |
|
Jangan lupa makan gaes... |
Empat bulan yang wajib dihabiskan
dengan terus bersama laptop di hadapan kami dari senin sampai jumat dari jam 8 hingga 5 sore.
Kadang-kadang bikin kepala terasa ingin pecah dan mata sakit karena memerah.
Toh, itu tidak lantas membuat perangkat (RPP, LKPD, media pembelajaran, bahan
ajar, dan lembar evaluasi) selesai tepat waktu yang biasanya bertempo 10 hari.
Masih ada yang harus begadang untuk menyelesaikannya sebelum esok hari
dipresentasikan. Itulah saya yang benar-benar seorang budak pengejar deadline
dengan “the power of kepepet”.
Tujuan workshop PPG adalah pembuatan perangkat pembelajaran yang berpedoman Kompetensi Dasar dari Jurusan Kimia
Industri dan Kimia Analisis di SMK yang dikeluarkan Dibelmawa dan Kemdikbud.
Tiap pergantian siklus (per 10 hari), kami mencabut kertas gulungan yang telah
tertulis nomor KD. Jadi tidak ada yang bisa memilih mana KD yang sulit atau
mudah dalam pandangan, toh semuanya terasa sulit karena kami bukan tidak punya
dasar teknik kimia.
|
Siap-siap menerima KD |
|
Menguatkan! |
Keluhan yang sering kami sampaikan
kepada tiap dosen yang masuk membimbing atau mengawasi kami adalah
ketidaktahuan kami tentang batasan pembahasan materi. Kurangnya bahan ajar
resmi dari SMK membuat kami menggunakan referensi dari internet yang sebenarnya
dipelajari di bangku kuliah. Kami benar-benar berpedoman Google untuk membuat
indikator pencapaian kompetensi. Belum lagi harus disesuaikan dengan jumlah jam
yang berkali lipat dari pelajaran kimia SMA, lalu pembimbing akan bilang: kalian itu calon guru SMK, bukan SMA! Jadi
wajar kalau jumlah jam banyak. Itu bukan materi semua, tapi praktikumnya yang
lama. Tapi kami kadang-kadang tidak punya bayangan seperti apa praktikum
yang sesungguhnya di lapangan, misal pengolahan minyak bumi. Itu benar bakal
mengolah minyak bumi jadi bensin?
|
Pendalaman materi pedagogik tiap sabtu di Phinisi UNM bareng jurusan TPI selama masa workshop |
Paling ketahuan tidak tahu apa-apa
adalah saat KD Kimia Industri. Mendengar bunyi KD saja, kami bertanya-tanya maksudnya
apa, istilahnya baru semua, dan bahkan dosen kami yang dari Kimia murni kurang
paham. Suatu hari anak dari dosen kami yang kuliah Teknik Kimia datang mengajar
selama dua hari. Berusaha membantu memecahkan segala tanya tentang KD yang kami
terima. Dua hari dia mengajar, dua hari batok kepala ini panas dan ingin
meledak. Kayak kompresor yang overuse.
Bukan dia yang kurang baik menjelaskan, saya yang lambat memahami. Bayangkan,
satu pokok bahasan yang dia dijelaskan sehari sama dengan satu mata kuliah per
semesternya. Itu kayak butiran gula pasir yang dibentuk jadi gula batu terus harus
ditelan dan dirasakan manisnya.
Kami menghabiskan 9 siklus selama
semester satu, penuh suka dan duka. Dukanya terasa saat berusaha keras mencari
bahan tapi tak kunjung ketemu yang sesuai kayak cari jodoh. Setelah
presentasi malah mesti merombak dari awal dalam waktu semalam. Sering juga
waktu berjalan begitu lambat, padahal badan sudah terasa remuk duduk di kursi
panas. Ingin pulang dan dipijat sebadan-badan.
|
Malah lelah ah... |
|
Hayati juga lelah bang...
|
Sukanya adalah momen makan-makan
bersama di kelas yang meski cuma sesaat membuat
lupa kalau perangkat belum ada yang jadi. Momen peer-teaching yang bisa bikin kami pulang sebelum jam 5 dan
pertanda bahwa ada malam yang bisa dihabiskan dengan leyeh-leyeh tanpa perlu
mengingat perangkat. Di samping itu, kami juga masih bisa tidur siang setelah
dhuhur. Sholat 5 menit, tidur satu jam! Hm, kadang di waktu dhuha juga ada yang
mencuri waktu buat tidur di Mushola.
|
Seminar proposal |
Setelah Januari berlalu, setelah siklus berakhir
betapa leganya perasaan meski di depan masih banyak tantangan menunggu.
Setidaknya, kecemasan yang dulu hadir di awal tentang saya yang meragukan
kemampuan diri bisa ditepis. Bahwa apapun bisa terselesaikan dengan baik jika
dikerjakan. Bahwa semangat itu bisa tumbuh jika terus dipupuk, meski hama
kemalasan sesekali datang menghadang. Tetap semangat jelang PPL, lalu UTN dan
UKIN 2018 yang penuh aura horor. Ingatlah wahai diri bahwa dalam berjuang di kampus: 10%
adalah kepintaran selebihnya adalah daya juang dan kerja keras (kutipan dari
seseorang yang tidak bisa saya sebutkan namanya~).***
|
Hasil workshop saingannya skripsi nih...
|
|
Bismillah gaes... |
Foto: Mudrika, Kak Asiah, Kak Di, Sutra
Februari 2018—rewrite Juni 2018
#Latepost