Selepas saya mengunggah sebuah foto di instagram
dan menceritakan betapa sulitnya menembus keramaian di acara MIWF pada saat
sesi Fiersa Besari dan mengakhiri keterangan foto dengan ekspresi tidak percaya
saya bahwa seorang Fiersa Besari seterkenal yang saya saksikan. Seorang teman langsung menimpali, kamu ini… dari mana
saja! kurang lebih begitu meski ia tidak menulis kalimat serupa di kolom
komentar.
Perhelatan Makassar International Writers Festival memang selalu dinanti warga Makassar. Bukan hanya yang menggilai buku,
tapi juga oleh masyarakat yang senang mengunjungi event keren di kota Makassar.
Festival literasi terbesar di Indonesia timur ini memang selalu memukai mata
para penikmat sastra. Mereka rela menempuh ribuan kilometer demi hadir dan
membenamkan diri dalam tiap sesi. Panitia acara juga selalu keren karena
sanggup menghadirkan para penulis dan sastrawan nasional hingga internasional.
Panitia MIWF ini seakan tahu, warna sastra apa
yang tengah digemari masyarakat. Penulis mana yang sedang jadi sorotan pembaca
karena karyanya yang menempati ruang di hati. Pertama kali pihak MIWF 2018
mengabarkan penulis yang akan hadir, orang pertama yang diperkenalkan adalah
Fiersa Besari lewat akun Twitternya saya mengetahui dari keterangan foto. Wow!
Sontak, saya mengabarkan teman saya yang begitu mengagumi Fiersa Besari lewat
buku-bukunya. Ia begitu antusias untuk datang. Firasat saya mengatakan bahwa
selain saya dan teman saya itu, ada banyak penggemar dan pembaca buku Fiersa
Besari utamanya yang berdomisili di Sulawesi Selatan yang begitu antusias
bahkan geregetan berjumpa Bung, begitu ia akrab disapa.
Pembuktiannya saya rasakan dengan sangat nyata
pada hari kedua sesi Fiersa Besari. Hari kemarin Bung juga ada sesi diskusi
tentang Instagram Story Telling beserta tiga penulis lain. Teman saya yang
telah mengambil cuti dari tempat kerja demi perjalanan Pinrang-Makassar selama
4 hari hadir di sesi pertama dan duduk di barisan kedua. Ia menunjukkan pada
saya betapa strategi posisi duduknya, wajahnya terpampang nyata di instastori
MIWF dan postingan foto audiens. Bahkan, ia sukses membuat saya iri dengan memerlihatkan
hasil swafoto empat kali dengan santai bersama Bung yang memegangi ponselnya. Remuqqq…
Hari kedua saat agenda peluncuran buku terbaru
Bung berjudul “Arah Langkah” di adakan di Chapel Fort Rotterdam. Saat itu saya
hanya bisa pasrah berada di antara kepadatan peserta yang sesekali menghimpit
bagian kanan badan saya ke tembok karena saling dorong. Padahal saya sudah tiba 20 menit sebelum acara, tapi saya hanya
bisa berdiri di anak tangga teratas. Pintu registrasi belum dibuka, panitia
kesulitan menembus peserta yang menumpuk di depan pintu. Bahkan, seorang
panitia terjebak di tengah peserta yang sulit bergerak. Perlahan dengan sedikit
intimidasi, akhirnya panitia berhasil masuk. Perlu pengawasan ekstra ketat di
depan pintu untuk menghalau arus peserta yang menerobos masuk layaknya hewan
ternak yang dibukakan pintu. Beruntung saya masih bisa menempati barisan kursi
terakhir bersama Inta yang datang lebih telat daripada sebelumnya dan ia
menyesalinya.
Pukul delapan yang syahdu (Cr: Youtube) |
Butuh waktu sekira 10 menit-an hingga Bung di antar masuk oleh dua panitia menuju Chapel yang mengalami banyak perubahan di area dinding depannya. Menengok ke belakang, saya mendapati kepadatan yang menghalangi pandangan saya menuju pintu. Peserta berdiri berbaris-baris tidak rapi di belakang saya sambil sesekali mengeluh capek dan memaki situasi. Bahkan di luar pintu sekilas tampak kerumunan orang yang ingin masuk tapi ruangan sudah tidak bisa menampung. Ramai sekali. Saya benar-benar takjub dengan sihir sesi kali ini. Belum lagi saat Bung melangkah masuk dengan senyuman, kiri-kanan peserta memotret dan merekamnya sambil berteriak-teriak histeris tidak jelas mengucapkan apa.
Saat Bung pertama kali bersuara, teriakan balasan
kembali menggema. Lebih-lebih saat Bung menyapa, seorang perempuan berjilbab tampak
begitu geregetan sambil menggetarkan badannya. Saya kemudian teringat semalam,
saat rela pulang larut seorang diri demi mendengar nukilan puisi Bung dan
beberapa penampil. Tatkala Bung menyapa, suasana malam yang gelap dan senyap
seketika ternodai oleh suara orang yang ‘tergoda’. Beberapa jadi lupa kalau
belum makan.
Bung membacakan kutipan dari buku terbarunya |
Saya sudah menunggu adanya sesi foto-foto, meski
pesimis bisa sebebas pengalaman teman saya. Benar saja, hanya ada sesi swafoto
rame-rame dengan Bung diikuti sesi tandatangan buku Arah Langkah dan tidak
perlu dipertanyakan apakah teman saya yang Fansnya Bung ikut membeli atau
tidak. Rupanya selain di MIWF, Bung juga mengadakan MnG di dua Mal besar di
Makassar, Mall Panakkukang dan M-tos. Tentu saja di toko bukunya. Melalui
pantauan Instastori saya mengetahui bahwa acara di M-tos tidak berjalan baik
karena ramainya pengunjung yang hadir meminta tandatangan dan foto hingga Bung
harus meminta maaf. Ahh, saya juga tidak berniat hadir jika hanya minta foto
dan tandatangan membayangkan akan padatnya acara itu.
Di luar dugaan saya bahwa kehadiran Bung begitu
dinanti. Saya baru benar-benar melihat betapa seorang penulis buku dikejar
layaknya artis demi foto-foto. Saya cuma bisa bengong sembari teman saya
merekam Bung yang turun dari Chapel dengan perempuan-perempuan mayoritas
berjilbab di belakangnya yang memanggil-manggil sambil terus mengikuti
jejaknya. Mereka baru berhenti saat Bung di bawa pergi dengan mobil hitam.
Beberapa orang terlihat puas, di samping kanan saya ia berujar senang sambil
memperlihatkan deretan foto dirinya bersama Bung kepada temannya.
“Kapan lagi? Mumpung ada orangnya toh?!”
Beberapa lainnya tidak cukup puas mengeluh, “deh coba kurekamki juga. Ini kufotoji
tapi tidak kentara!” sesal perempuan berjaket hitam di samping kiriku.
Melalui perjumpaan itu, setidaknya saya tahu mengapa Bung digilai penggemar selain karena tulisannya dan cerita patah hatinya yang mewakili kaumnya: lirik lagu, musik, gitar, gunung, dan Sheila on 7. Kepada yang bertanya seganteng apa Bung, tidak lebih ganteng daripada aktor film tapi dia karismatik. Melihat penulis, jangan tanyakan secakep apa wajahnya, tanyakan sebagus apa karyanya.***